Pengelolaan Aspek Sumber Daya Manusia pada Industri Otomotif

Perkembangan industri otomotif di Indonesia sangat pesat dan signifikan pada beberapa tahun terakhir ini (Kurniawan, 2012). Menurut catatan Dunia Industri (2012), pada pertengahan tahun 2012 sebanyak 13 perusahaan otomotif di Indonesia memiliki aset sebesar Rp 18,9 triliun dengan total tenaga kerja sebesar 27.270 orang. Diprediksikan bahwa dalam empat tahun ke depan, total aset 13 perusahaan otomotif yang beroperasi di Indonesia tersebut akan mencapai angka di atas 40 trilyun dengan penyerapan tenaga kerja sekitar 50.000 orang. Industri otomotif Indonesia juga menjadi penyumbang terbesar pajak bagi pemerintah Indonesia dengan nilai lebih dari Rp 80 triliun pada tahun 2010, belum termasuk pajak yang disetorkan dari sektor perusahaan yang terkait dengan industri otomotif, seperti perusahaan pembiayaan (leasing companies), komponen dan asuransi (Prabowo, 2012).

Mengingat kontribusinya terhadap penerimaan negara dari sektor pajak yang dibayarkan serta potensi penyerapan tenaga kerja industri otomotif Indonesia ini sangat menarik. Oleh kerena itu, industri otomotif haruslah memperhatikan berbagai macam aspek yang ada supaya industry otomotif terus berjalan. Berikut adalah aspek-aspek yang harus diperhatikan pada industri otomotif :
                 
1.    Aspek Sistem Produksi dalam Industri Otomotif
Keperkasaan sistem produksi otomotif Jepang yang mengejutkan dunia dimulai pada akhir era 1970-an atau awal tahun 1980 (Anonymous, 1995), ketika perusahaan Jepang mulai membuka pabriknya di Amerika Serikat. John Krafcik (Anonymous, 1995) menganalisis sistem produksi yang berlaku di perusahaan otomotif Jepang dan memberikan nama “lean production system” untuk menggambarkan teknik produksi, kebijakan SDM dan kebijakan hubungan industrial yang diterapkan oleh perusahaan otomotif Jepang tersebut. John Krafcik dan John Paul MacDuffie (Anonymous, 1995) membandingkan kinerja pabrik perakitan di seluruh dunia dan menyimpulkan kehebatan “lean production system” atau “flexible production system” dibandingkan dengan “mass production system” yang pada waktu itu dominan diterapkan pada industri otomotif di Amerika Serikat atau Eropa. Kelebihan sistem produksi yang bersifat fleksibel dari sisi pasar adalah kemampuannya untuk memenuhi permintaan konsumen yang sangat bervariasi, sedangkan dari sisi pekerja adalah pemanfaatan aspek kerjasama, rotasi pekerjaan dan pengembangan multi-skill. Kelebihan ini mengalahkan sistem produksi massal atau “mass production” yang ditandai dengan biaya rendah, efisiensi tinggi karena over-spesialisasi, namun kurang dapat memenuhi permintaan konsumen yang beragam dan dari sisi pekerja menghasilkan rutinitas dan pekerjaan yang tidak menantang. Produksi massal ini dikenal dengan istilah Fordism atau Taylorism (Saruta, 2006). Superioritas dari sistem produksi Jepang ini tetap teruji hingga saat ini, seperti yang terjadi pada Toyota Production System (TPS) yang menginspirasi produsen otomotif di negara-negara lain, meskipun dengan hasil yang belum tentu sama karena berbagai faktor pendorong atau penghambat yang juga berbeda.

2.    Aspek Pengelolaan Sumber Daya Manusia dalam Industri Otomotif
Dengan memfokuskan perhatian pada perusahaan otomotif Jepang yang menjadi pusat kajian dalam penelitian ini, maka dalam industri otomotif Jepang, aspek pengelolaan manusia semuanya diarahkan untuk mendukung sistem produksinya. Sebagai contoh, bila TPS mempersyaratkan The Toyota Way untuk mendukung proses produksi agar mencapai hasil maksimal yang diharapkan, maka NPW memiliki pula The Nissan Way.
The Toyota Way adalah nilai-nilai dan aturan berperilaku yang harus dimiliki, dipegang erat dan diterapkan oleh karyawan selama masih ingin dianggap sebagai karyawan Toyota (Saruta, 2006). The Toyota Way meliputi 2 pilar dasar: 1) wisdom dan kaizen (kebajikan dan perbaikan yang terus menerus atau continuous improvement), dan 2) respect for human nature (rasa hormat terhadap sesama manusia). Manajemen SDM di Toyota juga diarahkan untuk mendukung The Toyota Way. Sebagai contoh, di bidang rekrutmen dan seleksi, karakteristik kepribadian calon karyawan yang selaras dengan nilai-nilai Toyota seperti kesediaan kerja sama dalam kelompok, kecenderungan untuk tidak egosentris dan lain sebagainya, menjadi nilai-nilai yang diutamakan (Winfield, 1995). Sistem manajemen karir, pengembangan SDM dan remunerasi juga disesuaikan dengan tujuan dari The Toyota Way.

3.    Hubungan antara Aspek Pengelolaan Sumber Daya Manusia dan Kinerja Organisasi di Industri Otomotif
Hasil penelitian dari MacDuffie (1995) menunjukkan bahwa aspek pengelolaan SDM menjadi signifikan berpengaruh terhadap kinerja organisasi manakala aspek tersebut merupakan bagian yang saling terintegrasi dengan sistem produksi dan sistem kerja, terutama di sistem produksi yang bersifat “lean atau flexible production”. Sedangkan hasil penelitian Zacharatos et al. (2005) menunjukkan bahwa ketiga klaster yang menjadi ukuran praktek organisasi berkinerja tinggi terbukti saling berkorelasi satu sama lain, dan bahwa ketiga klaster tersebut terbukti berpengaruh terhadap kinerja karyawan, akan tetapi melalui variabel mediator berupa person-focused outcomes dan organizational-focused outcomes.



0 komentar:

Posting Komentar